Aktivis Lingkungan Bersatulah  

Posted by Jendela Alam Tropika

Agung Wardana - 06 Dec 2010

Sepertinya bukan kebetulan jika gerakan lingkungan hidup menjadi bulan-bulaan banyak pihak saat ini. Karena memang selama ini gerakan ini dianggap menggangu keyamanan ‘business as usual’ penguasa ekonomi dan politik.

Misalkan, beberapa saat yang lalu ini publik Inggris disuguhkan dengan berita perdebatan antara aktivis lingkungan dengan pembuat film, “What the Green Movement Goes Wrong”. Selanjutnya di negeri sendiri, gerakan lingkungan khususnya Greenpeace, setelah kapal Rainbow Warrior-nya ditolak masuk ke perairan Indonesia, saat ini sedang ditantang berdebat oleh seorang akademisi diranah ilmiah ditambah lagi bantahan dari staf Presiden terkait data yang digunakan dalam publikasinya.

Label Anti Ilmu Pengetahuan

Murray Bookchin (1989) pernah menyatakan bahwa gerakan lingkungan menjadi gerakan yang paling radikal abad ini. Sehingga paska perang dingin, kapitalisme meletakkan gerakan lingkungan dalam list musuh yang perlu diwaspadai. Meski tidak dapat dipungkiri banyak juga muncul model developmentalisme yang didukung oleh korporasi untuk memoderasi gerakan lingkungan.

Berkaitan dengan cara mematahkan gerakan lingkungan juga masih menggunakan metode lama yakni dengan melabelkan gerakan lingkungan sebagai ‘anti-ilmu pengetahun’ ataupun ‘anti-kemajuan’. Dengan jalan mengambil salah satu-dua contoh ‘kesalahan’ yang disebarluaskan untuk membangun opini publik. Maksudnya jelas untuk merobohkan citra gerakan lingkungan yang selama tiga dekade memberikan kontribusi bagi penyelamatan bumi.

Film dokumenter “What the Green Movement Got Wrong” mengambil sampel hubungan antara pelarangan DDT di seluruh dunia dengan banyaknya korban meninggal akibat malaria. Pelarangan DDT diklaim sebagai dampak dari kampanye aktivis lingkungan, Greenpeace. Namun dalil ini dengan mudah dipatahkan oleh George Monbiot, seorang aktivis lingkungan radikal, karena memang tidak pernah ada pelarangan DDT di seluruh dunia. DDT sendiri tidak pernah masuk dalam Annex B Konvensi Stockholm tentang POP. Jadi hal tersebut hanya cerita fiksi yang disusun oleh para kolaborator korporat (Guardian 04/10/10).

Federasi organisasi lingkungan terbesar, Friends of the Earth (FOE), dalam film tersebut, juga dilabelkan sebagai anti ilmu pengetahuan. Hal ini disebabkan oleh posisi FOE selama ini menolak keras pangan dari produk genetically modified organisms (GMO) dengan basis prinsip kehati-hatian (Precautionary Principle).

Dalam prinsip tersebut, ketidakpastian ilmu pengetahuan mengenai dampak sebuah program seharusnya tidak menjadi alasan untuk menunda langkah proteksi terhadap lingkungan hidup dan kesehatan manusia (Prinsip 15 dari Deklarasi Rio). Dengan demikian, alam dan kesehatan manusia diberikan porsi yang harus diuntungkan dalam program yang masih diperdebatkan.

Argumen terpenting dari FOE terkait GMO dengan relasi kuasa korporasi dengan rakyat. Jika pangan GMO yang diproduksi oleh korporasi disebarluaskan maka rakyat sedang meletakkan lehernya di tali gantungan kuasa korporasi atas kehidupan. Korporasi kemudian akan berubah menjadi Tuhan dalam menentukan siapa yang layak hidup, dengan jalan memberikan suplai pangan, dan siapa yang harus mati atas nama keuntungan.

Dengan demikian perdebatan yang belangsung bukan lagi dalam ranah ilmu pengetahuan ilmiah dan teknis yang diklaim sebagai wilayah yang ‘bebas kepentingan’. Tetapi meluas ke dalam perdebatan ekonomi politik yakni relasi kuasa negara-modal-rakyat.

Di tempat berbeda, di Indonesia, aktivis Greenpeace ditantang untuk berdebat mengenai hasil penelitian ilmiah tentang ‘kejahatan lingkungan’ satu korporasi. Namun sayangnya tantangan ini belum diterima oleh pihak Greenpeace. Sepertinya, ada ketidakpercayaan diri dari para aktivis Greenpeace untuk berdebat dengan seorang doktor dari Institut Pertanian Bogor (IPB). Padahal di dunia nyata, keabsahan temuan seorang doktor tidaklah lebih superior dari intuisi penyelamatan ibu pertiwi dan keadilan lingkungan dari seorang yang tidak berpendidikan sekalipun.

Membuka Kontradiksi Kapitalisme-Alam

James O’Connor (1988) menyatakan bahwa alam berkontradiksi dengan modal, kemudian dikenal kotradiksi kedua dari kapitalisme. Kontradiksi ini melihat bahwa produksi tanpa batas dari kapitalisme membawa kehancuran lingkungan hidup. Sedangkan, kontradiksi pertama sendiri terletak pada hubungan buruh dengan modal. Dengan demikian, keuntungan kaum kapitalis sebenarnya diperoleh selain dari nilai lebih kaum buruh ditambah dari eksternalisasi biaya lingkungan dan sosial.

Selain kontradiksi di atas, terdapat juga perbedaan mendasar dalam pijakan berpikir para korporatis dengan aktivis gerakan lingkungan. Jika korporatis mungkin juga termasuk komprador-nya melihat nilai alam secara instrumental semata. Dimana alam dipandang sebagai alat pemuas kebutuhan dan keinginan manusia yang tanpa batas. Sehingga sumber daya yang terbatas jumlahnya sudah semestinya diberikan nilai ekonomis.

Di sisi lain, gerakan lingkungan memperluas cara pandang instrumental ini dengan menambahkan pendekatan nilai inheren dan intrinsik dari alam. Nilai inheren melihat alam tidak semata-mata sebuah entitas yang harus ditaklukan manusia untuk memenuhi kebutuhannya, tetapi menjadi ruang komtemplasi yang memiliki simbol spritualitas. Sedangkan nilai intrinsik memandang alam memiliki nilai dari dan untuk dirinya sendiri meskipun tanpa keberadaan manusia. Dengan demikian, manusia memiliki kewajiban moral untuk menghormati-nya terlepas dari memiliki fungsi atau tidak dalam kehidupan manusia.

Kemudian, pertanyaannya: akankah kontradiksi dan perbedaan cara pandang ini direkonsiliasi dalam ranah diskusi ilmiah yang bias instrumentalis? Mungkin jawabannya sulit, jika bukan mustahil.

Selanjutnya, sebenarnya tantangan dari akademisi sebuah perguruan tinggi negeri di Indonesia tersebut ditujukan secara terbuka bagi seluruh gerakan lingkungan hidup di Indonesia. Hal positif dari menerima tantangan ini, paling tidak, dapat membuka kontradiksi dan memperjelas siapa kawan dan siapa lawan dari gerakan lingkungan di Indonesia. Karena tentu saja tidak ada orang yang bisa netral di dalam kereta yang sedang bergerak, seperti judul film Howard Zinn. Jadi, aktivis lingkungan bersatulah!



* Penulis adalah Aktivis Lingkungan yang saat ini sedang belajar di University of Nottingham, Inggris.

Pembangunan Tanpa Pengelolaan Lingkungan Hidup: Rugikan Ekonomi dan Rakyat Miskin  

Posted by Jendela Alam Tropika

Pembangunan Tanpa Pengelolaan Lingkungan Hidup: Rugikan Ekonomi dan Rakyat Miskin

Ani Purwati - 14 Oct 2009
http://www.beritabumi.com

Tekanan pembangunan ekonomi yang meningkat dalam memenuhi tuntutan penduduk dan pengelolaan lingkungan yang belum memadai merupakan tantangan yang lebih banyak merugikan rakyat miskin dan perekonomian di Indonesia. Demikian proyeksi masa depan kebijakan lingkungan hidup Indonesia oleh Setyo S. Moersidik dari Program Studi Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana Universitas Indonesia saat diskusi bersama Rachmad Witoelar (Menteri Negara Lingkungan Hidup), Catur Sapta Hadi (anggota DPR), Siti Maemunah dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan forum wartawan lingkungan Indonesia di Jakarta, Selasa (13/10).


Menurut Moersidik, total kerugian perekonomian akibat keterbatasan akses ke air bersih dan sanitasi yang aman setidaknya mencapai 2 persen dari PDB setiap tahun. Biaya tahunan yang ditimbulkan dari pencemaran udara bagi perekonomian Indonesia telah diperhitungkan mencapai sekitar 400 juta per tahun.

”Biaya–biaya ini secara tidak proporsional ditanggung oleh rakyat miskin karena mereka kemungkinan besar harus menghadapi pencemaran dan sulit melakukan tindakan-tindakan untuk mengurangi dampaknya,” ungkapnya.

Kinerja yang buruk terutama disebabkan oleh dua alasan. Pertama, meskipun terdapat investasi yang besar pada kebijakan lingkungan dan sumberdaya alam serta pengembangan kepegawaian, pelaksanaan peraturan dan prosedur di lapangan masih buruk dan lambat karena lemahnya komitmen instansi-instansi sektoral, rendahnya kesadaran departemen-departemen lokal dan tantangan kapasitas di semua tingkatan, pengetahuan tentang dampak negatif lingkungan yang diperkirakan akan terjadi dari perumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan mekanisme bagi stakeholder untuk meminta pertanggungjawaban kinerja instansi pemerintah masih lemah.

Kedua, pertimbangan-pertimbangan lingkungan masih sangat minim di tingkat perencanaan dan penyusunan program, terutama dalam proses perencanaan investasi publik dan dalam rencana tata guna lahan dan sumberdaya daerah.


Kebijakan Strategis Ke Depan dengan UU PPLH

Ke depan, Kementerian Negara Lingkungan Hidup harus bisa menerjemahkan kelimpahan karunia dan sekaligus bencana dengan melakukan pemetaan sumberdaya alam, potensi bencana dan permasalahan lingkungan hidup yang global dan yang berimplikasi lokal.

Membuat kebijakan strategis menjawab keinginan stakeholder lingkungan dengan melihat secara mendalam persoalan desentralisasi dihubungkan dengan meluasnya kewenangan daerah dalam memberikan ijin yang strategis dan berdampak penting pada lingkungan (misal pada sector kehutanan dan pertambangan). Ada beberapa yang memberi argument kuat tentang pentingnya moratorium hutan terkait dengan perijinan dan illegal logging.

Membuat langkah yang fundamental untuk merubah persepsi pembangunan yang berorientasi ekonomi menjadi pembangunan berkelanjutan dengan lebih melihat pada akar masalah sosial, perilaku dan budaya. Bilamana perlu dibuat rekayasa sosial untuk pemerintah itu sendiri, untuk sektor dan sekaligus bagi masyarakat.

Moersidik menyampaikan bahwa Rachmad Witoelar sebagai Menteri Negara Lingkungan Hidup mengakui bahwa UU No. 23 Tahun 1997 telah dianggap bermanfaat bagi upaya pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia, tetapi efektifitas implementasinya belum dapat mencapai tujuan yang diharapkan karena adanya persoalan pada masalah substansial, struktural maupun cultural. Menurut Moersidik Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang baru sebagai instrumen pelaksanaan kebijakan ke depan mempunyai peran penting.

Dengan peraturan perundang-undangan yang baru disyahkan ini pemerintah pusat dan daerah berkewajiban membuat kajian lingkungan hidup strategis. Kajian itu untuk memastikan pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam kebijakan, rencana, dan program pembangunan. Pemanfaatan sumberdaya alam juga harus didasarkan pada rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (PPLH) yang menjadi dasar penyusunan rencana pembangunan jangka panjang dan menengah.

Penguatan AMDAL (analisa mengenai dampak lingkungan) untuk mencegah kerusakan lingkungan dengan meningkatkan akuntabilitas, penerapan sertifikasi kompetensi penyusun dokumen AMDAL, penerapan sanksi hukum bagi pelanggar bidang AMDAL dan AMDAL sebagai persyaratan utama dalam memperoleh izin lingkungan.

Perijinan diperkuat dengan menjadikan ijin lingkungan sebagai prasyarat memperoleh izin usaha/kegiatan dan izin usaha/ kegiatan dapat dibatalkan apabila izin lingkungan dicabut. Sistem hukum diperkuat dengan memperluas kewenangan PPNS. Dalam hal penegakan hukum lingkungan PPNS berwewenang menghentikan pelanggaran seketika di lapangan. Penyidik PNS dapat melakukan penangkapan dan penahanan serta hasil penyidikan disampaikan ke jaksa penuntut umum yang berkoordinasi dengan kepolisian.

Sebagai salah satu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang turut dalam menginisiasi lahirnya UU PPLH ini, Catur Sapto Edi berharap KNLH mampu melakukan gebrakan dalam penegakan hukum lingkungan. “Setidaknya dalam lima tahun ke depan harus ada perusahaan pencemar besar yang harus ditangkap berdasarkan UU ini sebagai shock terapi bagi yang lainnya,” ungkap Catur yang akan mempertahankan kaukus lingkungan hidup di DPR.

Namun menurut Moersidik, UU di sektor lain belum mendukung pelaksanaan UU PPLH ini karena seperti biasa tidak disusun secara sepaket dengan sektor lain. Selain itu UU PPLH ini juga belum mempunyai PP sebagai pelaksana. PP ini harus bisa menerjemahkan UU PPLH dan tidak hanya bersifat teknis.


Target Tidak Hanya Mimpi

Dijelaskanya bahwa target KNLH hingga 2014 sangat ambisus. Target ini tidak hanya mimpi bila semua deputi bisa duduk dan berdiplomasi bersama antar departemen. “Tapi apakah didukung dengan anggaran dan infrastruktur yang cukup?” kata Moersidik.

Menurut Rachmad Witoelar, Menteri Negara Lingkungan Hidup, penguatan dalam upaya perbaikan lingkungan, publik yang pro lingkungan, diplomasi lingkngan hidup dan peraturan perundang-undangan merupakan kunci dalam pengelolaan lingkungan hidup. KNLH menargetkan model dasar percepatan pembangunan lingkungan hidup pada 2009-2014 dapat mengalami peningkatan kualitas sejak 2009. Dimana selama ini telah mengalami penurunan tajam.

Target pembangunan lingkungan hidup 2014 dari KNLH adalah kebijakan pro lingkungan dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KNLHS), terwujudnya masyarakat madani lingkungan melalui akses informasi, partisipasi masyarakat, pendidikan lingkungan, penghargaan, komunikasi massa dan peran media. Kemudian terwujudnya keadilan lingkungan dengan hukum yang jelas dan adil, perlindungan sumberdaya alam dan lingkungan hidup serta aksesnya untuk publik. Kapasitas kelembagaan yang mumpuni, meningkatnya anggaran dan dana nasional.

Dengan target tersebut, KNLH berharap bisa memperbaiki kualitas lingkungan yang menurun seperti sungai yang masih tercemar selain beberapa yang mengalami peningkatan kualitas. Ada 9 sungai yang membaik, 9 sungai tetap dan 14 sungai memburuk.

Potret Kemerosotan Kualitas Lingkungan

Peningkatan kualitas lingkungan dari daerah aliran sungai ini dipertanyakan oleh Siti Maemunah dari Jatam. Dari potret Kalimantan Barat menunjukkan kemerosotan kualitas lingkungan yang tajam.

Menurut Mae, dulu banjir besar hanya 3 - 5 tahun sekali. Sejak 2005, banjir minimal 4 kali setahun, luasan banjir dari 1 kecamatan, meluas ke 4 kecamatan, ketinggian air 2 kali lipat, dan air lebih keruh. Dan dari 2 hari, berubah menjadi seminggu gak turun. Sekali banjir bisa menelan korban mencapai 10.204 keluarga pada 5 Kelurahan, 3 Kecamatan.

Sementara itu lanjutnya, intimidasi serta teror dari aparat keamanan dan pemerintah selalu mengiringi pembebasan lahan dan ganti rugi sepihak oleh Korporasi Tambang Batubara, Ada 5 desa masyarakat adat Dayak di Kabupaten Paser dipaksa megungsi dan digusur oleh PT Kideco Jaya Agung, milik Korea.

Dalam pembubaran aksi damai, satu orang warga tewas diterjang peluru aparat, 4 orang terluka dan 2 orang cacat seumur hidup serta 24 orang lainnya ditahan dan dikriminalisasi dan dijatuhi hukuman oleh pengadilan negeri Tenggarong dengan 7 bulan penjara dengan alasan membawa senjata tajam dan dituduh mengganggu ketertiban umum.

Kehati Award: Anugerah Tertinggi Pada Pelestari Keanekaragaman Hayati Indonesia  

Posted by Jendela Alam Tropika in

beritabumi.com - Ani Purwati - 27 May 2009

Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati Indonesia) kembali memberikan penghargaan kepada sejumlah orang atau kelompok yang berperan aktif dalam pelestarian keanekaragaman hayati pada 2009 di Gedung Perfilman Usmar Ismail Jakarta, Selasa (26/5). Penghargaan yang disebut sebagai Kehati Award merupakan penganugerahan tertinggi kepada para pelestari keanekaragaman hayati Indonesia.

Damayanti Buchari sebagai Direktur Kehati Indonesia mengatakan, penghargaan ini diperuntukan bagi individu atau kelompok yang terbukti menunjukkan semangat, keteguhan dan dedikasi dalam menjaga kekayaan Kehati Nusantara.

Kehati Award keenam ini mengambil tema "Membangun Pemimpin Lingkungan Masa Depan. Berbeda dengan tahun sebelumnya, menurut Damayanti, Kehati Award tahun ini diberikan pada enam kategori. Sedangkan tahun-tahun sebelumnya, Kehati Award hanya diberikan pada lima kategori. Tambahan katagori pada tahun ini adalah Tunas Lestari Kehati.

“Sesuai dengan tema tahun ini, Tunas Lestari Kehati diberikan kepada generasi muda yang bisa menjadi critical man yang membawa perubahan lingkungan dan keanekaragaman hayati yang lebih baik,” terang Damayanti.

Dia menjelaskan penghargaan tersebut sebagai bentuk komitmen Yayasan Kehati Indonesia dalam menanamkam kepedulian anak dan remaja sebagai penerus dalam menjaga dan melestarikan keanekaragaman hayati.

Bertepatan dengan peringatan Hari Keanekaragaman Hayati pada 22 Mei dan ulang tahun Yayasan Kehati Indonesia yang ke-15, Damayanti juga berharap penghargaan Kehati Award bisa menjadi bahan perenungan bersama semua pihak tentang apa yang bisa dilakukan bagi pelestarian keanekaragaman hayati ini.

Pemenang Kehati Award

Setelah melalui proses penyaringan dari 90 peserta menjadi 26 usulan secara marathon, akhirnya terpilih 10 finalis Kehati Award. Selanjutnya tim juri yang terdiri dari tujuh orang dari instansi pemerintah, lembaga penelitian, organisasi non pemerintah, swasta dan media melakukan verifikasi lapangan, wawancara finalis dan saksi mata di sekitarnya pada10 orang finalis.

Akhirnya Dewan Juri yang diketuai oleh Endang Sukara dari LIPI mendapatkan enam pemenang Kehati Award. Keenam pemenang tersebut adalah Sudiyo dari Masyarakat Adat Hutan Wonosadi untuk kategori Prakarsa Lestari Kehati, Sofyan Hadi untuk kategori Pendorong Lestari Kehati, H.M. Maryono kategori Peduli Lestari Kehati, Saein SP kategori Cipta Lestari Kehati, Sancaya Rini kategori Citra Lestari Kehati, dan Adeline Tiffanie Suwana dari Klub Sahabat Alam untuk kategori Tunas Lestari Kehati.

Sudiyo bersama Masyarakat Adat Hutan Wonosadi, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, peraih Prakarsa Lestari Kehati Award telah menunjukkan keteguhannya selama 44 tahun dalam memelihara dan menyelamatkan hutan adat Wonosadi seluas 25 hektar. Sofyan Hadi peraih Pendorong Lestari Kehati Award telah menunjukkan kepeduliannya dalam melestarikan satwa langka terancam punah, penyu hijau ( Chelonia mydas) di Pulau Jemur dan Aruan (Riau) sejak 2002 dengan biaya sendiri.

H.M. Maryono, peraih Peduli Lestari Kehati Award, sejak 2004 telah merintis pendirian Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat “Herbarium Development Center” yang mampu melestarikan 59 jenis tanaman herbal langka yang di antaranya banyak yang terancam punah di Kulon Progo, DI Yogyakarta. Saein SP, peraih Cipta Lestari Kehati Award telah melakukan penyilangan beragam varietas padi unggulan yang menghasilkan 10 varietas padi baru sejak 2004 di antaranya jenis padi tahan panas dengan teknik budidaya pertanian organik di Purbalingga, Jawa Tengah.

Sancaya Rini, peraih Citra Lestari Kehati Award telah menghasilkan karya-karya batik terbaik dengan menggunakan bahan pewarna alami sejak 2005 di Tangerang, Banten. Adeline Tiffanie Suwana dari Klub Sahabat Alam (Jakarta), peraih Tunas Lestari Kehati Award telah berpetualang dalam beragam aksi lingkungan mulai dari menanam pohon bakau dan terumbu karang, melepas penyu sisik, membersihkan sampah di pantai, menyebar benih ikan hingga membuat video penyadaran lingkungan yang memenangkan perlombaan tingkat dunia.

Anugerah Kehati Award kategori Prakarsa Lestari Kehati diberikan pada perseorangan atau kelompok/organisasi dari komunitas masyarakat lokal. Kategori Pendorong Lestari Kehati diberikan pada perseorangan atau unit/bagian dari suatu lembaga kedinasan, badan pelayanan publik atau instansi pemerintahan/lembaga negara di tingkat pusat ataupun di daerah.

Kategori Peduli Lestari Kehati diberikan pada perseorangan atau kelompok/unit usaha dari sektor dunia usaha, baik perusahaan swasta (domestik/asing), Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah ataupun koperasi. Kategori Cipta Lestari Kehati diberikan pada perseorangan atau kelompok/institusi dari dunia ilmu pengetahuan dan teknologi atau masyarakat ilmiah, baik instansi akademik (perguruan tinggi, institut pendidikan, sekolah) maupun para peneliti dari lembaga penelitian dan pengembangan.

Kategori Citra Lestari Kehati diberikan pada perseorangan atau kelompok/organisasi dari kalangan media dan komunikasi massa (termasuk jurnalis media cetak dan elektronik) serta pelaku seni dan budaya. Kategori Tunas Lestari Kehati diberikan pada perseorangan atau kelompok/organisasi dari kalangan anak dan remaja.

Masing-masing pemenang berhak mendapatkan hadiah berupa trophy, bingkisan dari sponsor dan sejumlah uang senilai 25 juta rupiah.

Pembinaan Desa Konservasi untuk Berdayakan Masyarakat dalam Penyelamatan Hutan  

Posted by Jendela Alam Tropika


Beritabumi.or.id, Setyo Raharjo - 09 May 2008

Saat ini, pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan setidaknya sudah membina 189 desa konservasi bersama lembaga swadaya masyarakat. Pembinaan itu bertujuan agar masyarakat memiliki kesadaran akan konservasi sehingga tidak merusak hutan.

Demikian disampaikan oleh Menteri Kehutanan MS Ka’ban seusai pencanangan Program Percontohan Pengelolaan DAS Terpadu melalui pengembangan Desa Konservasi, di Lobi Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, pada Rabu (7/5).

Lebih lanjut dijelaskan olehnya bahwa masyarakat yang sudah sadar konservasi tidak akan merusak hutan. Kami mendorong mereka untuk mempertahankan tanaman endemik di kawasan tersebut, bukan malah berbudidaya pertanian semusim.

Kegiatan ini terselenggara atas kerjasama Departemen Kehutanan, United State Agency for International Development (USAID), dan Environmental Services Program (ESP). Pengembangan desa konservasi itu meliputi 16 kawasan di enam provinsi, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur.

Sementara itu, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Darori menejaskan bahwa selain membangun kesadaran pentingnya konservasi, pembinaan juga bertujuan meningkatkan perekonomian masyarakat, yakni dengan meningkatkan kompetensi, kualitas produk, mengenalkan teknologi baru, membuka akses pasar, dan permodalan.

"Program desa konservasi ini, dalam menyediakan bibit tanaman kami sesuaikan dengan kondisi kawasan dan keinginan masyarakat. Dengan demikian masyarakat tidak hanya mendapat hasil dari kayu, tapi juga akan mendapat penghasilan dari hasil hutan non kayu," ujarnya.

Desa Konservasi

Sebelumnya, dalam siaran pers yang disampaikan oleh Kepala Bidang Analisis & Penyajian Informasi, Ir. Masyhud, MM, mewakili Kepala Pusat Informasi, Departemen Kehutanan dijelaskan bahwa desa konservasi adalah sebuah pendekatan model konservasi yang memberi peluang kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi untuk terlibat aktif dalam upaya pengelolaan kawasan konservasi.

“Model ini juga memberikan peluang kepada masyarakat untuk memperoleh akses yang aman untuk pemanfaatan kawasan, sehingga dapat menjamin komitmen jangka panjang mereka untuk mendukung konservasi kawasan hutan,” ujar Masyhud.

Pengembangan desa konservasi merupakan salah satu program yang dirintis oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA), Departemen Kehutanan. Direktorat Jenderal PHKA telah berencana mengembangkan 132 Model Desa Konservasi (MDK) di sekitar 77 Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Sumberdaya Alam atau Balai Taman Nasional.

Untuk mewujudkan komitmen tersebut, sejak tahun 2007, Ditjen PHKA bekerjasama dengan Environmental Services Program (ESP) yang didanai United State Agency for International Development (USAID), mengembangkan desa konservasi di 16 kawasan konservasi yang terletak di lima (5) provinsi prioritas, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah/DI Yogyakarta, Jawa Timur, Aceh, dan Sumatera Utara.

Sebagian besar desa konservasi tersebut terletak di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS). Oleh karena itu, pengembangan model desa konservasi menjadi salah satu pendekatan untuk mewujudkan pengelolaan DAS terpadu, guna mendukung tata kelola kawasan hutan dan konservasi yang lebih baik.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain pemilihan lokasi dengan pendekatan development pathways, pengembangan unit sekolah lapangan di desa-desa yang terletak di wilayah hulu dan dekat dengan kawasan konservasi. Juga pengembangan rencana aksi dan penggalangan dukungan para pihak dalam implementasi rencana aksi konservasi.

Desa konservasi merupakan sebuah inisiatif upaya konservasi yang partisipatif. Inisiatif ini sangat penting dan relevan dengan kondisi kawasan konservasi di Indonesia. Indonesia memiliki sekitar 22 juta hektar kawasan konservasi .

”Sebagian besar kawasan tersebut terancam rusak, karena beberapa faktor, seperti tuntutan konversi lahan, perambahan, kebakaran hutan, illegal logging, perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa langka, serta tuntutan kebutuhan hasil hutan karena tingginya laju pertumbuhan penduduk,” katanya.

Menurut data Ditjen PHKA, saat ini terdapat sekitar 2.040 desa di daerah penyangga kawasan konservasi, yang jumlah penduduknya sekitar 660.845 keluarga. Sebagian besar penduduk tersebut sangat tergantung pada sumber daya alam di kawasan hutan. Oleh karena itu, pelibatan masyarakat adalah salah satu kunci keberhasilan upaya konservasi kawasan dengan nilai keanekaragaman hayati yang tinggi.

Krisis Ekologis Akan Berlanjut Jika Diplomasi Gagal Selamatkan Laut dan Nelayan Tradisional  

Posted by Jendela Alam Tropika in

Ani Purwati - 22 Apr 2009

Krisis ekologis yang bermuara pada perubahan iklim hari ini lebih disebabkan oleh derajat eksploitasi berlebihan dari negara-negara industri seperti Jepang, Amerika Serikat, Australia, dan sebagainya, tanpa mengindahkan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan hidup dan kelangsungan hidup umat manusia. Potret ini akan kembali terulang jika pemerintah gagal berdiplomasi menyelamatkan laut dan nelayan tradisionalnya dalam konferensi kelautan dunia (World Ocean Conference-WOC) yang akan digelar di Menado, Sulawesi Utara, 11-15 Mei 2009.

Demikian kata Riza Damanik, Sekretaris Jenderal Kiara, saat aksi bersama nelayan untuk memperingati Hari Bumi, di depan Kedutaan Besar (Kedubes) Jepang, Jakarta (22/4).

Kehancuran lingkungan dan penjarahan sumberdaya alam yang telah melampaui batas telah mengakibatkan makin meningkatnya ancaman krisis ekologis dan tingginya kerentanan pada masyarakat, termasuk nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Sehingga menurut Damanik, agenda diplomasi yang harus ditempuh pemerintah dalam forum internasional itu seharusnya adalah mengungkap akar persoalan kelautan nasional dan global dengan berlandas pada asas keberlanjutan lingkungan dan perlindungan hak-hak nelayan tradisional; mengajak tindakan kolektif masyarakat dunia untuk memberikan sanksi kolektif kepada aktor penyebab krisis laut dan iklim dengan mengedepankan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan di depan hukum; dan membangun kesadaran kolektif guna memberikan perlindungan lebih terhadap hak-hak masyarakat nelayan tradisional.

“Ketiga agenda di atas amat penting bagi kedaulatan dan kemandirian ekonomi bangsa Indonesia,” kata Damanik.

Menurutnya, sudah saatnya Indonesia mempraktikkan pesan-pesan keadilan ekonomi sebagimana diasaskan dalam Pasal 33 93) UUD 1945. Dapat disesalkan, sekitar 30%-50% total potensi perikanan tangkap nasional diperdagangkan di pasar global secara ilegal setiap tahunnya. Bahkan 90% produksi udang nasional bukan untuk pemenuhan konsumsi dalam negeri.

Akar persoalan kelautan dunia lainnya adalah praktik pertambangan di kawasan pesisir dan pembuangan limbah tambang di laut. Kegiatan ekstraksi pertambangan (penambangan logam, batubara, dan migas) di darat juga mendorong terjadinya krisis ekologis di laut Indonesia. Tak hanya membawa hasil sedimentasi ke muara, industri pertambangan juga membuang limbah beracunnya langsung ke laut.

”Hal ini tak hanya mencemari laut dan mengancam keberlanjutan ekosistem laut, tetapi juga telah mematikan hak kelola nelayan tradisional,” ungkap Siti Maimunah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dalam siaran pers bersama.

Ia mencontohkan, dari dua tambang emas Amerika Serikat (PT Newmont dan PT Freeport) saja, buangan limbah tambang (tailing) sebanyak 340 ribu ton setiap harinya. Perusakan ekosistem laut juga berpangkal dari eksplorasi minyak dan gas menggunakan dinamit yang diledakkan dalam laut Teluk Balikpapan juga telah berakibat pada kematian ikan secara massal dan rusaknya terumbu karang di perairan tersebut.

Ironisnya, pengerukan bahan tambang itu sebagian besar untuk memasok kebutuhan asing. Ekspor batubara Indonesia, misalnya, ditujukan ke negara-negara Asia, seperti Jepang, Cina, Taiwan, India, Korea Selatan, Hongkong, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Negara tujuan ekspor lainnya adalah Eropa, seperti Belanda, Jerman, dan Inggris, serta negara-negara di Amerika Serikat. Importir terbesar batubara Indonesia adalah Jepang (22,8%) dan Taiwan (13,7%) .

Skema dana hibah dan atau hutang yang tak hanya merusak lingkungan, tetapi juga memiskinkan nelayan tradisional makin
memperuncing persoalan kelautan dunia. Menurut Dani
Setiawan, Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU), sejak awal pembangunan pertambakan (aquaculture) di sepanjang pesisir Indonesia tidak lepas dari pembiayaan utang ADB dan Bank Dunia. Rata-rata, kontribusi utang luar negeri dari sektor ini mencapai Rp39,5 miliar per tahun, sejak 1983 hingga 2013 mendatang. Hasilnya pun hanya menambah penderitaan dan memiskinkan petambak tradisional.


Aksi bersama puluhan masyarakat sipil yang terdiri dari organisasi non pemerintah, yaitu Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia (KPNNI), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM), Koalisi Anti Utang (KAU) dan nelayan Marunda Jakarta Utara, berlangsung di depan Kedubes Jepang, dan berlanjut di depan Istana Negara serta Kantor Menkokesra, Jakarta Pusat, sekitar pukul 11.00-13.00 WIB.

Seandainya Alamku Bisa Bicara  

Posted by Jendela Alam Tropika


Ketika mendengar seuah nama Indonesia, banyak orang akan berfikir bahwa Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang kaya akan sumberdaya alam. Hamparan garis pantai terpanjang, hasil-hasil tambang berupa minyak, gas alam, batu bara, emas dan masih banyak lagi, dan terutama hamparan permadani hijau yang terhampar di hampir seluruh pulau.

Begitu banyak bangsa yang seakan iri dengan melimpahnya sumberdaya alam yang dimiliki oleh bangsa ini. Namun sayangnya, dikala banyak orang dari negara luar begitu mendambakan sesuatu yang dimiliki Indonesia, justru bangsa ini memporakporandakan tatanan alam yang sedmikian eloknya. Betapa tidak, sudah berapa banyak hutan alam yang berubah menjadi hamparan tanah gersang, yang hanya di hiasa tonggak-tonggak kering bekas eksploitasi yang tidak beradab. Sudah berapa banyak hidupan liar yang dipaksa keluar dari habitatnya, berapa banyak sumber-sumber mata air yang tidak lagi mengalirkan gemercik air yang bening, dan akhirnya sudah berapa banyak korban nyawa yang diakibatkan oleh bencana-bencana yang mucul setelah hutan tropis itu terpunahkan.

Lalu sampai kapankah bangsa ini akan sadar, bahwa mereka telah melanggar prinsip-prinsip keadalian dalam hidup. Bukankan semua mahkluk dialam ini diciptakan untuk dapat hidup berdampingan. Bukankan manusia telah diamanahkan untuk menjadi seorang pemimpin di dunia. Dan bukankah alam telah memberikan semua miliknya hanya untuk kepentingan manusia. Namun, kenapa manusia bangsa ini seolah tidak menganal balas budi terhadap jasa-jasa yang telah diberikan oleh alamnya.

Seandainya tonggak-tonggak kayu itu bisa berbicara, seandaniya hidupan liar itu bisa berteiak, seandainya perut bumi itu bisa mengeluh, sungguh mereka akan menunjukkan kepada manusia, betapa mereka telah direnggut haknya untuk hidup dan melestarikan jenisnya.



Salam,

Luluk Khoirul

Salam Lestari  

Posted by Jendela Alam Tropika

Blog ini merupakan sebuah media untuk saling berbagi informasi, wacana dan segala hal yang terkait dengan isu-isu lingkungan hidup. Sebuah isu yang mungkin sudah sangat populer bagi sebagian orang, baik itu di nusantara maupun di seantero dunia. Namun sejauh mana sesungguhnya isu tersebut dapat dipahami, sungguh masih sebuah tanda tanya.

Pemahaman mengenai isu lingkungan hidup memang cenderung tidak menarik bagi sebagian orang, yang memang lebih condong untuk bergelut dalam isu-isu ekonomi dan bisnis. Tidak bisa dipungkiri bahwa isu tersebut buisa dibilang lebih seksi dan mendatangkan nilai lebih.

Disaat sebagian besar orang tidak peduli terhadap kelestarian lingkungan hidup, mungkin masih ada dari kita yang mencoba untuk peduli, walaupun hanya sebatas dalam tataran wacana, sungguh hal itu sudah merupakan sesuatu yang berharga.

Salam,

Luluk Khoirul