Kehati Award: Anugerah Tertinggi Pada Pelestari Keanekaragaman Hayati Indonesia  

Posted by Jendela Alam Tropika in

beritabumi.com - Ani Purwati - 27 May 2009

Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (Kehati Indonesia) kembali memberikan penghargaan kepada sejumlah orang atau kelompok yang berperan aktif dalam pelestarian keanekaragaman hayati pada 2009 di Gedung Perfilman Usmar Ismail Jakarta, Selasa (26/5). Penghargaan yang disebut sebagai Kehati Award merupakan penganugerahan tertinggi kepada para pelestari keanekaragaman hayati Indonesia.

Damayanti Buchari sebagai Direktur Kehati Indonesia mengatakan, penghargaan ini diperuntukan bagi individu atau kelompok yang terbukti menunjukkan semangat, keteguhan dan dedikasi dalam menjaga kekayaan Kehati Nusantara.

Kehati Award keenam ini mengambil tema "Membangun Pemimpin Lingkungan Masa Depan. Berbeda dengan tahun sebelumnya, menurut Damayanti, Kehati Award tahun ini diberikan pada enam kategori. Sedangkan tahun-tahun sebelumnya, Kehati Award hanya diberikan pada lima kategori. Tambahan katagori pada tahun ini adalah Tunas Lestari Kehati.

“Sesuai dengan tema tahun ini, Tunas Lestari Kehati diberikan kepada generasi muda yang bisa menjadi critical man yang membawa perubahan lingkungan dan keanekaragaman hayati yang lebih baik,” terang Damayanti.

Dia menjelaskan penghargaan tersebut sebagai bentuk komitmen Yayasan Kehati Indonesia dalam menanamkam kepedulian anak dan remaja sebagai penerus dalam menjaga dan melestarikan keanekaragaman hayati.

Bertepatan dengan peringatan Hari Keanekaragaman Hayati pada 22 Mei dan ulang tahun Yayasan Kehati Indonesia yang ke-15, Damayanti juga berharap penghargaan Kehati Award bisa menjadi bahan perenungan bersama semua pihak tentang apa yang bisa dilakukan bagi pelestarian keanekaragaman hayati ini.

Pemenang Kehati Award

Setelah melalui proses penyaringan dari 90 peserta menjadi 26 usulan secara marathon, akhirnya terpilih 10 finalis Kehati Award. Selanjutnya tim juri yang terdiri dari tujuh orang dari instansi pemerintah, lembaga penelitian, organisasi non pemerintah, swasta dan media melakukan verifikasi lapangan, wawancara finalis dan saksi mata di sekitarnya pada10 orang finalis.

Akhirnya Dewan Juri yang diketuai oleh Endang Sukara dari LIPI mendapatkan enam pemenang Kehati Award. Keenam pemenang tersebut adalah Sudiyo dari Masyarakat Adat Hutan Wonosadi untuk kategori Prakarsa Lestari Kehati, Sofyan Hadi untuk kategori Pendorong Lestari Kehati, H.M. Maryono kategori Peduli Lestari Kehati, Saein SP kategori Cipta Lestari Kehati, Sancaya Rini kategori Citra Lestari Kehati, dan Adeline Tiffanie Suwana dari Klub Sahabat Alam untuk kategori Tunas Lestari Kehati.

Sudiyo bersama Masyarakat Adat Hutan Wonosadi, Gunung Kidul, DI Yogyakarta, peraih Prakarsa Lestari Kehati Award telah menunjukkan keteguhannya selama 44 tahun dalam memelihara dan menyelamatkan hutan adat Wonosadi seluas 25 hektar. Sofyan Hadi peraih Pendorong Lestari Kehati Award telah menunjukkan kepeduliannya dalam melestarikan satwa langka terancam punah, penyu hijau ( Chelonia mydas) di Pulau Jemur dan Aruan (Riau) sejak 2002 dengan biaya sendiri.

H.M. Maryono, peraih Peduli Lestari Kehati Award, sejak 2004 telah merintis pendirian Balai Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat “Herbarium Development Center” yang mampu melestarikan 59 jenis tanaman herbal langka yang di antaranya banyak yang terancam punah di Kulon Progo, DI Yogyakarta. Saein SP, peraih Cipta Lestari Kehati Award telah melakukan penyilangan beragam varietas padi unggulan yang menghasilkan 10 varietas padi baru sejak 2004 di antaranya jenis padi tahan panas dengan teknik budidaya pertanian organik di Purbalingga, Jawa Tengah.

Sancaya Rini, peraih Citra Lestari Kehati Award telah menghasilkan karya-karya batik terbaik dengan menggunakan bahan pewarna alami sejak 2005 di Tangerang, Banten. Adeline Tiffanie Suwana dari Klub Sahabat Alam (Jakarta), peraih Tunas Lestari Kehati Award telah berpetualang dalam beragam aksi lingkungan mulai dari menanam pohon bakau dan terumbu karang, melepas penyu sisik, membersihkan sampah di pantai, menyebar benih ikan hingga membuat video penyadaran lingkungan yang memenangkan perlombaan tingkat dunia.

Anugerah Kehati Award kategori Prakarsa Lestari Kehati diberikan pada perseorangan atau kelompok/organisasi dari komunitas masyarakat lokal. Kategori Pendorong Lestari Kehati diberikan pada perseorangan atau unit/bagian dari suatu lembaga kedinasan, badan pelayanan publik atau instansi pemerintahan/lembaga negara di tingkat pusat ataupun di daerah.

Kategori Peduli Lestari Kehati diberikan pada perseorangan atau kelompok/unit usaha dari sektor dunia usaha, baik perusahaan swasta (domestik/asing), Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah ataupun koperasi. Kategori Cipta Lestari Kehati diberikan pada perseorangan atau kelompok/institusi dari dunia ilmu pengetahuan dan teknologi atau masyarakat ilmiah, baik instansi akademik (perguruan tinggi, institut pendidikan, sekolah) maupun para peneliti dari lembaga penelitian dan pengembangan.

Kategori Citra Lestari Kehati diberikan pada perseorangan atau kelompok/organisasi dari kalangan media dan komunikasi massa (termasuk jurnalis media cetak dan elektronik) serta pelaku seni dan budaya. Kategori Tunas Lestari Kehati diberikan pada perseorangan atau kelompok/organisasi dari kalangan anak dan remaja.

Masing-masing pemenang berhak mendapatkan hadiah berupa trophy, bingkisan dari sponsor dan sejumlah uang senilai 25 juta rupiah.

Pembinaan Desa Konservasi untuk Berdayakan Masyarakat dalam Penyelamatan Hutan  

Posted by Jendela Alam Tropika


Beritabumi.or.id, Setyo Raharjo - 09 May 2008

Saat ini, pemerintah dalam hal ini Departemen Kehutanan setidaknya sudah membina 189 desa konservasi bersama lembaga swadaya masyarakat. Pembinaan itu bertujuan agar masyarakat memiliki kesadaran akan konservasi sehingga tidak merusak hutan.

Demikian disampaikan oleh Menteri Kehutanan MS Ka’ban seusai pencanangan Program Percontohan Pengelolaan DAS Terpadu melalui pengembangan Desa Konservasi, di Lobi Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, pada Rabu (7/5).

Lebih lanjut dijelaskan olehnya bahwa masyarakat yang sudah sadar konservasi tidak akan merusak hutan. Kami mendorong mereka untuk mempertahankan tanaman endemik di kawasan tersebut, bukan malah berbudidaya pertanian semusim.

Kegiatan ini terselenggara atas kerjasama Departemen Kehutanan, United State Agency for International Development (USAID), dan Environmental Services Program (ESP). Pengembangan desa konservasi itu meliputi 16 kawasan di enam provinsi, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur.

Sementara itu, Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA), Darori menejaskan bahwa selain membangun kesadaran pentingnya konservasi, pembinaan juga bertujuan meningkatkan perekonomian masyarakat, yakni dengan meningkatkan kompetensi, kualitas produk, mengenalkan teknologi baru, membuka akses pasar, dan permodalan.

"Program desa konservasi ini, dalam menyediakan bibit tanaman kami sesuaikan dengan kondisi kawasan dan keinginan masyarakat. Dengan demikian masyarakat tidak hanya mendapat hasil dari kayu, tapi juga akan mendapat penghasilan dari hasil hutan non kayu," ujarnya.

Desa Konservasi

Sebelumnya, dalam siaran pers yang disampaikan oleh Kepala Bidang Analisis & Penyajian Informasi, Ir. Masyhud, MM, mewakili Kepala Pusat Informasi, Departemen Kehutanan dijelaskan bahwa desa konservasi adalah sebuah pendekatan model konservasi yang memberi peluang kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi untuk terlibat aktif dalam upaya pengelolaan kawasan konservasi.

“Model ini juga memberikan peluang kepada masyarakat untuk memperoleh akses yang aman untuk pemanfaatan kawasan, sehingga dapat menjamin komitmen jangka panjang mereka untuk mendukung konservasi kawasan hutan,” ujar Masyhud.

Pengembangan desa konservasi merupakan salah satu program yang dirintis oleh Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA), Departemen Kehutanan. Direktorat Jenderal PHKA telah berencana mengembangkan 132 Model Desa Konservasi (MDK) di sekitar 77 Unit Pelaksana Teknis Balai Konservasi Sumberdaya Alam atau Balai Taman Nasional.

Untuk mewujudkan komitmen tersebut, sejak tahun 2007, Ditjen PHKA bekerjasama dengan Environmental Services Program (ESP) yang didanai United State Agency for International Development (USAID), mengembangkan desa konservasi di 16 kawasan konservasi yang terletak di lima (5) provinsi prioritas, yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah/DI Yogyakarta, Jawa Timur, Aceh, dan Sumatera Utara.

Sebagian besar desa konservasi tersebut terletak di wilayah hulu Daerah Aliran Sungai (DAS). Oleh karena itu, pengembangan model desa konservasi menjadi salah satu pendekatan untuk mewujudkan pengelolaan DAS terpadu, guna mendukung tata kelola kawasan hutan dan konservasi yang lebih baik.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan antara lain pemilihan lokasi dengan pendekatan development pathways, pengembangan unit sekolah lapangan di desa-desa yang terletak di wilayah hulu dan dekat dengan kawasan konservasi. Juga pengembangan rencana aksi dan penggalangan dukungan para pihak dalam implementasi rencana aksi konservasi.

Desa konservasi merupakan sebuah inisiatif upaya konservasi yang partisipatif. Inisiatif ini sangat penting dan relevan dengan kondisi kawasan konservasi di Indonesia. Indonesia memiliki sekitar 22 juta hektar kawasan konservasi .

”Sebagian besar kawasan tersebut terancam rusak, karena beberapa faktor, seperti tuntutan konversi lahan, perambahan, kebakaran hutan, illegal logging, perdagangan ilegal tumbuhan dan satwa langka, serta tuntutan kebutuhan hasil hutan karena tingginya laju pertumbuhan penduduk,” katanya.

Menurut data Ditjen PHKA, saat ini terdapat sekitar 2.040 desa di daerah penyangga kawasan konservasi, yang jumlah penduduknya sekitar 660.845 keluarga. Sebagian besar penduduk tersebut sangat tergantung pada sumber daya alam di kawasan hutan. Oleh karena itu, pelibatan masyarakat adalah salah satu kunci keberhasilan upaya konservasi kawasan dengan nilai keanekaragaman hayati yang tinggi.

Krisis Ekologis Akan Berlanjut Jika Diplomasi Gagal Selamatkan Laut dan Nelayan Tradisional  

Posted by Jendela Alam Tropika in

Ani Purwati - 22 Apr 2009

Krisis ekologis yang bermuara pada perubahan iklim hari ini lebih disebabkan oleh derajat eksploitasi berlebihan dari negara-negara industri seperti Jepang, Amerika Serikat, Australia, dan sebagainya, tanpa mengindahkan prinsip-prinsip keberlanjutan lingkungan hidup dan kelangsungan hidup umat manusia. Potret ini akan kembali terulang jika pemerintah gagal berdiplomasi menyelamatkan laut dan nelayan tradisionalnya dalam konferensi kelautan dunia (World Ocean Conference-WOC) yang akan digelar di Menado, Sulawesi Utara, 11-15 Mei 2009.

Demikian kata Riza Damanik, Sekretaris Jenderal Kiara, saat aksi bersama nelayan untuk memperingati Hari Bumi, di depan Kedutaan Besar (Kedubes) Jepang, Jakarta (22/4).

Kehancuran lingkungan dan penjarahan sumberdaya alam yang telah melampaui batas telah mengakibatkan makin meningkatnya ancaman krisis ekologis dan tingginya kerentanan pada masyarakat, termasuk nelayan tradisional dan masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Sehingga menurut Damanik, agenda diplomasi yang harus ditempuh pemerintah dalam forum internasional itu seharusnya adalah mengungkap akar persoalan kelautan nasional dan global dengan berlandas pada asas keberlanjutan lingkungan dan perlindungan hak-hak nelayan tradisional; mengajak tindakan kolektif masyarakat dunia untuk memberikan sanksi kolektif kepada aktor penyebab krisis laut dan iklim dengan mengedepankan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan di depan hukum; dan membangun kesadaran kolektif guna memberikan perlindungan lebih terhadap hak-hak masyarakat nelayan tradisional.

“Ketiga agenda di atas amat penting bagi kedaulatan dan kemandirian ekonomi bangsa Indonesia,” kata Damanik.

Menurutnya, sudah saatnya Indonesia mempraktikkan pesan-pesan keadilan ekonomi sebagimana diasaskan dalam Pasal 33 93) UUD 1945. Dapat disesalkan, sekitar 30%-50% total potensi perikanan tangkap nasional diperdagangkan di pasar global secara ilegal setiap tahunnya. Bahkan 90% produksi udang nasional bukan untuk pemenuhan konsumsi dalam negeri.

Akar persoalan kelautan dunia lainnya adalah praktik pertambangan di kawasan pesisir dan pembuangan limbah tambang di laut. Kegiatan ekstraksi pertambangan (penambangan logam, batubara, dan migas) di darat juga mendorong terjadinya krisis ekologis di laut Indonesia. Tak hanya membawa hasil sedimentasi ke muara, industri pertambangan juga membuang limbah beracunnya langsung ke laut.

”Hal ini tak hanya mencemari laut dan mengancam keberlanjutan ekosistem laut, tetapi juga telah mematikan hak kelola nelayan tradisional,” ungkap Siti Maimunah, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dalam siaran pers bersama.

Ia mencontohkan, dari dua tambang emas Amerika Serikat (PT Newmont dan PT Freeport) saja, buangan limbah tambang (tailing) sebanyak 340 ribu ton setiap harinya. Perusakan ekosistem laut juga berpangkal dari eksplorasi minyak dan gas menggunakan dinamit yang diledakkan dalam laut Teluk Balikpapan juga telah berakibat pada kematian ikan secara massal dan rusaknya terumbu karang di perairan tersebut.

Ironisnya, pengerukan bahan tambang itu sebagian besar untuk memasok kebutuhan asing. Ekspor batubara Indonesia, misalnya, ditujukan ke negara-negara Asia, seperti Jepang, Cina, Taiwan, India, Korea Selatan, Hongkong, Malaysia, Thailand, dan Filipina. Negara tujuan ekspor lainnya adalah Eropa, seperti Belanda, Jerman, dan Inggris, serta negara-negara di Amerika Serikat. Importir terbesar batubara Indonesia adalah Jepang (22,8%) dan Taiwan (13,7%) .

Skema dana hibah dan atau hutang yang tak hanya merusak lingkungan, tetapi juga memiskinkan nelayan tradisional makin
memperuncing persoalan kelautan dunia. Menurut Dani
Setiawan, Koordinator Koalisi Anti Utang (KAU), sejak awal pembangunan pertambakan (aquaculture) di sepanjang pesisir Indonesia tidak lepas dari pembiayaan utang ADB dan Bank Dunia. Rata-rata, kontribusi utang luar negeri dari sektor ini mencapai Rp39,5 miliar per tahun, sejak 1983 hingga 2013 mendatang. Hasilnya pun hanya menambah penderitaan dan memiskinkan petambak tradisional.


Aksi bersama puluhan masyarakat sipil yang terdiri dari organisasi non pemerintah, yaitu Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), Komite Persiapan Organisasi Nelayan Nasional Indonesia (KPNNI), Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Peradaban Maritim (PK2PM), Koalisi Anti Utang (KAU) dan nelayan Marunda Jakarta Utara, berlangsung di depan Kedubes Jepang, dan berlanjut di depan Istana Negara serta Kantor Menkokesra, Jakarta Pusat, sekitar pukul 11.00-13.00 WIB.